REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permukiman di
Kampung Pulo yang selama ini menjadi 'langganan' banjir kini telah digusur.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita kerap mendengar warga yang tinggal di sana
adalah orang-orang yang menduduki tanah negara. Namun ternyata sejarah
pemukiman disana sudah ada jauh sebelum Indonesa merdeka.
Sebelum Republik Indonesia ini berdiri, ribuan warga telah bermukim di Kampung
Pulo. Penduduk di Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara,
Jakarta Timur, itu telah ada sebelum tahun 1930.
Mayoritas warga adalah suku Betawi, namun sejak tahun 1970-an banyak warga
pendatang dari daerah 'Kulon', Bogor, dan sekitarnya. Selain itu, terdapat
etnis Tionghoa, juga warga keturunan Arab, Padang, dan Batak.
Pada masa kolonial Belanda, kampung tersebut merupakan bagian dari kawasan Meester
Cornelis. Kampung seluas 8.575 hektar tersebut memiliki akar dan nilai
sejarah antopologi kultural yang kuat.
Selama empat abad, Meester Cornelis Jatinegara adalah salah satu pusat
fungsional pertumbuhan Kota Jakarta. Fakta historis tersebut berhasil dihimpun
Ivana Lee, pendamping warga dari LSM Ciliwung Merdeka yang pernah melakukan
penelitian di wilayah tersebut.
"Lokasinya strategis, dekat dengan stasiun kereta api, dan pasar skala
regional," kata Ivana, yang aktif bergelut di LSM yang melakukan
pendampingan dan advokasi secara intensif terhadap komunitas warga Kampung Pulo
sejak tahun 2014.
Keberadaan sejumlah situs budaya religi dan tipologi arsitektur bangunan tempo
dulu juga menjadi kekhasan Kampung Pulo.
Sejumlah makam lawas yang terdata di
antaranya adalah makam Kyai Lukman nul Hakim/Datuk (sebelum 1930), makam Habib
Said (sebelum 1930) yang masih ada hubungan keluarga dengan makam di Luar
Batang, serta makam Kyai Kashim (sejak 1953).
"Dahulu Kampung Pulo memegang erat tradisi memakamkan anggota keluarga di
lokasi rumah sendiri, sehingga sering kali ditemukan makam di dalam
rumah," tutur Ivana.
Secara geografis, kampung dengan 3.809 KK tersebut dikelilingi sungai Ciliwung
sepanjang kurang lebih 1,9 km. Kali membatasi antara Kampung Pulo dan Bukit
Duri Tanjakan.
Dari kampung tersebut, banyak guru agama yang mengajarkan ilmunya kepada
masyarakat Jakarta. Bahkan, Nyai Salmah, ibu dari seorang ulama besar Betawi Al
Habib Ali Al Habsyi Kwitang berasal dari sana.
Di kampung tersebut hidup pula keturunan Habaib dari kalangan Al Aidrus yang
ditokohkan, salah satunya Al Imam Al Ariefbillah Al Habib Husein bin Muchsin Al
Aidrus. Ia wafat dan dimakamkan di Kampung Pulo hingga kampung tersebut lebih
dikenal dengan nama Kramat Kampung Pulo.
Banyak orang menziarahi makam tersebut, dan sejumlah keturunannya juga menjadi
juru dakwah. Beberapa di antaranya adalah Al Habib Sholeh Al Aidrus, Al Habib
Muhammad bin Husein Al Aidrus, Al Habib Ibrohim bin Hamid Al Aidid, Syarifah
Maimunah Al Jufri, serta banyak anak cucu Habib Husein lainnya.
"Terdapat pula musholla tertua Kampung Pulo, yaitu Al-Awwabin yang
didirikan tahun 1927 serta rumah berlanggam Betawi yang diyakini sudah berusia
lebih dari 100 tahun," ungkapnya. (bersambung)